
PARTAI Demokrat akan diuji. Ini kata Anas Urbaningrum, beberapa saat menjelang meletakan jabatannya sebagai ketua umum partai penguasa itu. Menurut Anas, ada tiga etika politik partai yang akan diuji: bersih, cerdas dan santun.
Kita tahu, kalau soal “bersih” partai yang pernah gencar beriklan “katakan tidak pada korupsi” ini, sudah batal demi hukum. Karena semua struktur penting partai sudah menyumbang tersangka dan terpidana korupsi.
Baca juga: Jaga Kredibilitas KPK, Pembocor Sprindik Mesti Diamputasi! dan Anas Tolak Bantuan Hukum dari Partai Demokrat
Dari sektor Dewan Pembina, ada Hartati Murdaya (anggota), menyusul kemudian Andi Mallarangeng (sekretaris). Dari kesekjenan sudah diwakili Angelina Sondakh (wakil). Terbaru ketua umumnya, Anas Urbaningrum. Sedangkan beberapa nama elite partai, seperti Sutan Bhatoegana, Johny Allen Marbun, Jero Wacik, namanya sudah terdaftar di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kalau soal kecerdasan, ujiannya nanti dalam pemilu mendatang. Kalau tetap bertahan sebagai pemenang, apalagi dengan persentase yang meningkat dibanding pemilu (2009) lalu, sudah pasti partai (Demokrat) ini sangat cerdas. Bisa meniti buih. Berselancar di atas gelombang isu yang dahsyat. Tapi kalau toh gagal, orang juga tidak akan menvonisnya sebagai partai yang tidak cerdas.
Ujian terberat justru pada poin “santun”. Karena “santun” dibawa ke dunia politik dan dikembangkan dengan sangat sukses oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Bos Besar Partai Demokrat. Sebab sebelum Yudhoyono terjun ke dunia politik praktis (2004), kita nyaris tak pernah mendengar istilah “politik santun”.
Kini kesantunan sudah resmi menjadi salah satu syarat yang harus dimiliki calon pemimpin. Padahal sebelum Yudhoyono terjun ke dunia politik, kesantunan tak pernah menjadi ukuran kepemimpinan. Ini berlaku di seluruh dunia.
Itu sebabnya para pemimpin besar yang mendunia nyaris tidak ada yang santun. Sebut saja Lee Kuan-yew, Mahathir, Deng Xioping, Soekarno, bahkan Bang Ali (Sadikin) dikenal masyarakat luas, khususnya warga Jakarta, sebagai pemimpin yang apa adanya. Egaliter. Tidak ada santun-santunnya. Hanya saja, mereka pada umumnya memang menjunjung tinggi etika. Bukan kesantunan yang terkesan munafik.
Karena itu, kesantunan biasanya merupakan perilaku di kalangan para bos mafioso. Dalam film-film mafia, terutama Godfather besutan sutradara Francis Ford Coppola yang sudah menjadi legenda, bisa kita saksikan betapa para “Don” mafia itu dalam setiap pertemuan sangat santun. Cipika-cipiki. Saling hormat menghormati. Saling memuji kesuksesan mereka.
Akan tetapi, di balik kesantunan itu, mereka sembunyikan keganasan yang cenderung sadis. Itulah sebabnya konflik antar-gang, perseteruan di antara mereka, selalu bersimbah darah. Nyawa manusia menjadi tak ada harganya.
Anas tampaknya juga tergoda, tepatnya, curiga, apakah kesantunan yang dikembangkan di partainya setali-tiga uang dengan budaya santun di kalangan para mafioso?
Makanya, selain bersih dan cerdas, “Juga diuji apakah Demokrat akan menjadi partai yang santun atau partai yang sadis. Apakah yang terjadi kesantunan politik atau sadisme politik?” tanya Anas dengan suara yang lantang tapi dingin.
Kita tahu, pernyataan ini merupakan sikap mantan ketua PB HMI (1997-1998) atas perjalanannya menjadi “tersangka” KPK. Dan kita tahu, Anas menjadi tersangka setelah para petinggi partainya, bahkan Ketua Dewan Pembinanya, bermanuver untuk segera menyingkirkannya dari kursi pimpinan partai. Maklum, dalam musim pemilu, posisi Anas memang sangat menentukan.
Itulah sebabnya, akhir karier poltik Anas di Demokrat mungkin juga akan mengakhiri era politik santun yang dipelopori Yudhoyono. Karena politik pada akhirnya bisa menerkam siapa saja, dengan cara yang jauh dari kesantunan. [***]
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D60673329.fef188dac39084cf04613941ca45cd6a%3B)

%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D95873140.fef188dac39084cf04613941ca45cd6a%3B)