Quantcast
Channel: lensaindonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 50591

Tri Ardhita Production & Swargalola Art and Culture Foundation Gelar Opera Sejarah Ken Dedes

$
0
0

LENSAINDONESIA.COM: Tri Ardhita Production bekerjasama denganSwargalola Art and Culture Foundation, Sabtu (2/2/2013) malam, menggelar pementasan opera sejarah dengan lakon “Ken Dedes Wanita Di Balik Tahta” di Gedung Kesenian Jakarta. Acara ini digelar sebagai khasanah kesenian yang memiliki estetika luhur yang makin terpuruk dan langka.

Eny Sulistyowati, SPd, SE selaku eksekutif produser opera sejarah Ken Dedes Wanita Di Balik Tahta, mengatakan pementasan opera sejarah ini patut digali, direkonstruksi, direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam publik lebih luas.

“Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Termasuk semangat memperkuat karakter masyarakat melalui kesenian tradisi. Semangat ini pula yang coba kami tawarkan melalui seni pertunjukan yang sebentar lagi akan kami gelar,” papar Eny Sulistyowati SPd, SE sebelum pementasan.

Pementasan ini, terang Eny, melibatkan tak kurang dari 150 seniman tradisi dari Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Jakarta. Selain itu, juga didukung oleh para bintang panggung dari Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yogyakarta, diantaranya; Ali Marsudi, Agus Prasetyo, Irwan Riyadi, Siti Maryuni dan Achmad Dipoyono. Sedangkan penari dan penyanyi bersuara emas Dewi Sulastri bertindak sebagai Sutradara.

”Opera sejarah ini menampilkan pembaharuan gerak tari, musik, teater, rias busana, tata cahaya, dan tata panggung, yang dipadukan dengan seni multi media. Sehingga diharapkan dapat menyajikan sebuah totonan klasik, kolosal dan spektakuler,” papar Eny

“Tidak hanya para seniman tradisi yang kami libatkan di sini, melainkan juga ada pekerja seni lainnya, diantaranya penyanyi Inul Daratista yang memerankan tokoh Ken Dara,” terang Eny.

Sinopsis

Ken Dedes, wanita asal desa Panawidyan menjadi tonggak awal kisah besar di bumi Jawa selama delapan abad. Bahkan, bisa jadi masih akan berlanjut hingga ke tahun-tahun berikutnya. Ken Dedes adalah seorang “Stri Nareswari” atau “Ardhanareswari” yang berarti wanita paling utama (uttama hadating stri) atau perempuan termulia (adimu-kyaning stri).

Pustaka gancaran Pararaton memuat pernyataan Dhang Hyang Logawe dan Bango Samparan, bahwa “…,. siapa saja yang memperistrinya, akan dapat menjadi maharaja (.., pan iku asing aderwe rabi, katekan dadi ratu anyakrawati)”.

Tak hanya tersohor di Indonesia, kebesarannya juga diikenal di manca nagara, utamanya di kalangan masyarakat Eropa dan Asia. Arca perwujudannya sebagai pantheon Buddhis berbentuk “Dewi Prajnyaparamita” merupakan masterpice ikonografi masa Singasari, yang membuat takjub para seniman dan para ahli yoga (acarya) dunia.

Karya pahat ini bukan semata daya khayal atau imaji pematung Jawa, melainkan sebuah arca potret dan sekaligus refleksi ragajiwa sang Ken Dedes itu sendiri. Konon dari “rahim emas (golden germ)”-nya lahir raja-raja besar Singasari dan Majapahit. Mereka adalah para pengukir kemasyhuran Nusantara lama. Ken Dedes oleh karenanya layak dipredikati sebagai “ibu sekalian para raja Jawa” di masa Hindu-Buddha pada abad ke 13 – 16 Masehi.

Ken Dedes tak sekedar cantik lahiriah, namun elok pula kepribadiannya dan seorang perempuan yang perilaku karmanya tercerahkan. Kitab Pararaton mengisitilahkan sebagai telah “memperoleh karma amamadangi” ”berkat kegenturannya menjalankan “enam-paramita” dalam kehidupannya, yang terdiri atas dana, sila, ksanti, virya, dhyana dan prajnaparamita.

Bukan hanya itu, di segi politik pun, lewat garis ganeologisnya, Nusantara lama yang sempat terpuruk pasca runtuhnya Mataram pada masa Syailendra serta Isanavamsa (abad ke-7 hingga 11 M) mampu ditegakkan kembali.

Sayang sekali, peran historis dan keluhuran budinya itu acap luput dari perhatian publik. Atau terkadang perilakunya dilencengkan dalam kisah-kisah sejarah pada masyarakat masa kini. Ironisnya, Ken Dedes dipersepsikan keliru sebagai wanita berperilaku tercela. Demikian halnya Pu Purwa, ayahandanya. Pu Purwa sejatinya adalah rohaniawan Mahayana Buddhis di Mandala Panawijyan yang sudah barang tentu mempunyai pekerti mapan dan tertata.

Kebesaran Ken Dedes di bawah asuhan atau didikan ayahandanya itulah yang bakal disajikan sebagai suatu legenda dalam bentuk pertunjukan opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” Dengan topangan data sejarah tentang kebesaran dan kemuliaan sang Ken Dedes sebagai simbol wanita Nusantara, yang dari rahim emasnya lahir raja-raja besar. Hanya dengan budi pekerti yang luhurlah sebuah bangsa akan mencapai kejayaannya.

“Opera sejarah Ken Dedes Wanita Di Balik Tahta ini mengajak kita merenung siratan luhur yang tersimpan lama dalam sejarah. Sebagai bekal untuk bangkt dari keterpurukan dengan jalan memperbaiki moralitas dan perilaku keseharian,” katanya. @Rudi

alexa ComScore Quantcast Google Analytics NOscript alexa ComScore Quantcast Google Analytics NOscript

Viewing all articles
Browse latest Browse all 50591

Trending Articles