Clik here to view.

LENSAINEDONESIA.COM: Polri tidak dapat menolak pembahasan RUU Kamnas, apalagi UU Intelijen Negara justru telah disahkan menjadi UU. Sehingga, institusi keamanan, baik TNI, Polri, maupun BIN telah memiliki UU sendiri.
Dengan begitu keberadaan RUU Kamnas mendesak untuk dibahas dan disahkan menjadi UU. UU ini kemudian mengintegrasikan ketiga institusi tersebut bersama institusi pendukung lainnya dalam menjaga kedaulatan Negara dari berbagai ancaman kemanan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam Kamnas tersebut.
Demikian dikemukakan Muradi pengamat politik dari Unpad di sela-sela Peluncuran Buku dan Dialog Penulis Penataan Kebijakan Keamanan Nasional di Bandung, Senin (14/1/2013). Buku tersebut diterbitkan oleh Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran untuk pencerahan terkait RUU Kamnas.
Muradi mengakui adanya kontroversi, pro dan kontra seputar pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas). RUU ini diindikasikan oleh sebagian organisasi masyarakat sipil, sebagai upaya mengkooptasi kebebasan sipil dan Hak Azasi Manusia. “Selain itu, keinginan Kementerian Pertahanan dan TNI untuk mengundangkan Kamnas diduga kuat memberikan peluang bagi TNI terlibat langsung dalam pemberantasan terorisme dan sejumlah peran serta tugas Polri untuk Keamanan Dalam Negeri, “papar Muradi.
Kata Muradi, RUU Kamnas harus memiliki 3 perspektif, yaitu mendudukkan peran dan fungsi institusi sektor keamanan secara professional. Ke-2, adanya kebijakan terintegral terkait dengan keamanan Negara yang memberikan dampak positif bagi penguatan kinerja masing-masing actor keamanan. Ke-3, penekanan pada penghormatan pada kebebasan sipil dan di bawah control pemerintahan sipil yang demokratis.
RUU Kamnas ditengarai sarat oleh berbagai kepentingan. Kamnas harus diartikan untuk penguatan demokrasi di Negara Indonesia. “Secara luas, keamanan nasional dapat diartikan sebagai upaya Negara dan masyarakatnya untuk memastikan agar pelaksanaan demokrasi tidak mengoreksi kepentingan publik dan Negara, “tukas Muradi.
Sementara itu, Wahyu Deni, mantan Kapolda Sumatera Barat yang hadir dalam diskusi tersebut, secara pribadi menyatakan bahwa Polisi boleh di bawah Kemendagri maupun Presiden. “Itu sangat boleh dengan syarat, Polisi tetap diposisikan sebagai lembaga independen dan dipenuhi kebutuhannya untuk keamanan masyarakat, “kata Wahyu di hadapan peserta diskusi. Ia menegaskan bahwa apapun sistem yang dipakai semuanya harus demi kepentingan rakyat.
Di sisi lain Wahyu juga menyoroti sistem penggajian tenaga professional di Indonesia. Menurutnya, penggajian perlu ditata kembali. Gaji penyidik di KPK berpangkat Kapten Golongan III/C atau IV/A bisa mencapai Rp 25 juta. Sementara polisi atau jaksa kemungkinan hanya menerima gaji sekitar Rp 3 juta, Kapolres hanya menerima gaji sekitar Rp 10 juta, dan Kapolres menerima gaji sekitar Rp 5-6 juta. Ia sangat mendukung agar guru, dosen, dan dokter diprioritaskan untuk menerima gaji yang tinggi. @desmanjon
Image may be NSFW.Clik here to view.

Clik here to view.

Clik here to view.

Clik here to view.
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D77124175.84db800168f3c4e8dc10e2c7f1a6bf39%3B)
Clik here to view.

Clik here to view.

Clik here to view.

Clik here to view.

Clik here to view.
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D15616490.84db800168f3c4e8dc10e2c7f1a6bf39%3B)