
“DAHLAN Iskan Sang Pendobrak”. Sepintas, judul buku ini, barangkali menggagapkan. Bombastis. Terlampau subyektif sebagai karya jurnalistik.
Bukusetebal 299 halaman diterbitkan PT Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia) ini,memang, sepertilebih berorientasi sebagai karya kreatfitas jurnalistik ketimbang karya penulisan sejarah yang harus dibingkai ketat kaidah-kaidah historiografi.
Baca juga: Dahlan “dakhilun” Iskan, Gus Dur dan KH Ahmad Dahlan (bag. 2) dan Aksi buruh di Bundaran HI, Dahlan Iskan ikut jalan kaki
Filsafat Hegel memaknai sejarah bukanlah sembarangan deretan peristiwa, tapi suatu proses yang dapat dimengerti, dikuasai oleh hukum-hukum obyektif, yang hanya terpahami dengan memandang sejarah secara keseluruhan.
Mungkin, karena buku berhalaman relatif tebal ini ditulis mantan Pemred Jawa Pos, Sholihin Hidayat, yang pernah menjadi ‘anak buah’ Dahlan Iskan di surat kabar Jawa Pos. Atau, obyek penulisan buku, merupakan figur yangpernah menjadi ‘guru’ jurnalistik sang penulis. Sehingga,tidak dijamin bisa membebaskan emosi subyektifitaspenulis –jika dimaksudkan– sebagai karya penulisan bernuansa kesejarahan.
Walau begitu, tajuk “Dahlan Iskan sang Pendobrak” yang diangkat dalam judul buku ini, sebuah konklusi tidak berlebihan. Sebaliknya, menjadifakta kejelian si penulis –-mantan anak buah yang memiliki kompetensi– memotret angle “unik” dan “eksklusif” dari perjalanan sejarah sosok Dahlan Iskan wartawan “Raja” 205 media Jawa Pos Grup, yang kini menjadi Menteri BUMN. Pastinya, figur Dahlan dalam kapasitasnyasebagai wartawan Indonesia dekade akhir 70-an hingga sekarang.
Sebutan Dahlan Iskan “sang pendobrak”,terjawab “gamblang” setelah mengikuti cermat isi buku yang dipetakan dalam 4 bagian. Pendeskripsian sosok Dahlan, lebih merujuk pada pengalaman empirik Sholihin Hidayat selama bekerja bersama Dahlan Iskan dalam membangun kerajaan surat kabar Jawa Pos.
Penyajiannya dikemas dalam gaya jurnalisme testimoni, diwarnai metafora yang sarat nuansa “uzlah” (kontemplasi), diperkaya tamsil kesufian, alurnya cair, meski cenderung berselancar.
Buku ini juga mencoba mengapresiasi ke-”unik”-an sosok Dahlan Iskansebagai “wartawan sejati” dalam terminologi spiritual. Sebuah figur berkarakter langka di panggung birokrasi, namunmultitalenta, super kreatif melakukan terobosan, berani mendobrak ‘kebuntuan’ selama menjabatDirut PLN. Begitu pula setelah diangkat Presiden SBY, jadi Menteri BUMN, dan belakangan masuk bursa spekulasi kandidat RI-1 atau RI-2.
Memang, bukan sesuatu yang genuine bila dikomparasikan dengan kesejarahan para pemimpin besar di negeri ini, yang dalam perjalanan karierpolitik mereka jugapernah menjadi wartawan, mengasuh dan menerbitkan surat kabar sendiri. Kendati pun alur kesejarahan profesi wartawan para figur itu beda.
Misal, di era Pergerakan Indonesia,sebut nama HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno (era revolusi menjadi Presiden RI ke-1), Hatta (Wapres RI ke-1), Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjono, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi. Kemudian, era Orde lama dan Orde Baru di antaranya ada nama menonjol sepertiWapres Adam Malik dan Menteri Penerangan Harmoko.,
Penulis buku ini jeli dan cermat memotret sosok Dahlan Iskan. Ini tercermin pada fokus pengungkapan sisi spriritualataureligiusitas Dahlan Iskan, yang lahir dan dibesarkan dari keluarga santri, pengamal tarekat Syatariyah.
Apalagi, penulis -–dibantu pemerhati Sejarah Kebudayaan Islam, Abdul Ghohar Mistar– memperkaya dengan ilustrasi beragam tambo islami atau riwayat sahabat Rasul, para aulia maupun ulama-ulama besar, seperti Syekh Abdul Qodir Aljilani, Hadratus Syekh KHHasyim As’ary, KH Ahmad Dahlan, termasuk Gus Dur sampai Sunan Kalijogo.
Karena Dahlan Iskan dilahirkan dan masa kecilnya tumbuh dalam kultur tradisi Jawa di sebuah desa layaknya desa-desa di Pulau Jawa –misal, ada tradisi setiap musim panen, keluargamengumpulkan tumpeng—karenanya, penulis cukup relevan juga memperkaya dengan ilustrasi tokoh-tokoh kerajaaan Jawa seperti Ken Arok, Gajah mada, bahkan Jaka Tingkir (hal. 272). Kendati pun plot di beberapa bagian, terutama bagian awal, alurnya melebar.
Rupanya, fokus spiritual itulah yang membedakan buku karya Sholihin Hidayat–diperkaya Abdul Gofar Mistar– ini dengan sederet buku tentang Dahlan Iskan yang belakangan ditulis beberapa wartawan anak buah Dahlan, baik yang masih aktif maupun non aktif di grup Jawa Pos. Termasuk, yang ditulis wartawan para sahabat Dahlan, maupun buku-buku karya Dahlan Iskan sendiri.*** (bersambung)
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D20335707.ad315fa24286a5fdfad447f2cc6f5a34%3B)

%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D10565363.ad315fa24286a5fdfad447f2cc6f5a34%3B)