
GERAKAN Nasionalisasi Minyak dan Gas Bumi (GNM) yang merupakan aliansi strategis dari Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) dan Gerakan Perubahan (GarpU), dalam menyikapi kebijakan Pemerintah soal pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan membagi dua opsi. Yakni, opsi perbedaan harga dalam satu jenis bbm premium dan solar yang berharga tetap Rp. 4.500,- per liter untuk kendaraan beroda dua dan angkutan umum, serta opsi harga naik untuk kendaraan milik pribadi berplat hitam menjadi Rp. 6.500-7.000 per liternya.
Dengan tegas GNM menolak tanpa kompromi atas kebijakan Pemerintah, karena di ujungnya diyakinkan juga akan semakin memperberat penderitaan ekonomi rakyat.
Kendati Pemerintah beralasan kenaikan BBM dilakukan untuk menghemat subsidi negara terhadap BBM. Di mana dengan kenaikan tersebut, Pemerintah mengklaim dapat menghemat anggaran hingga Rp 70 triliun pertahun. Padahal sejatinya, masih banyak alternatif lain yang bisa ditempuh tanpa harus menaikkan harga BBM, seperti halnya jika Pemerintah melakukan penghematan 10% belanja birokrasi, maka akan didapat Rp 40 triliun lebih.
Dan hal itu sangat mungkin dilakukan. Artinya, Pemerintah bisa saja mengklaim anggaran bisa dihemat Rp. 70 triliun, tapi bagaimana dengan kenaikan pengeluaran masyarakat?. Alih-alih Pemerintah ingin menghemat anggaran negara, tapi anggaran belanja masyarakat justru akan meningkat tajam.
Ketua Umum eSPeKaPe, Binsar Effendi Hutabarat dan Koordinator Eksekutif (Kooreks) GarpU, Muslim Arbi menyatakan sikapnya, bahwa GNM bertekad untuk melakukan perlawanan secara all-out atas kebijakan Pemerintah jika tetap dipaksakan. Sebab, kebijakan Pemerintah tersebut tak memiliki manfaat dan justru punya dampak yang luar biasa terhadap rakyat.
Jangan sampai ini hanya menjadi akal-akalan kelompok tertentu saja untuk kepentingan sesaat. “Lihat saja nanti, angkutan umum pengangkut sembako yang ada di pedesaan, yang rata-rata dimiliki secara pribadi bakal terkena kenaikan harga BBM karena berplat hitam.
Dampak dari efek dominonya, jelas akan menaikkan tarif angkutan pedesaan tersebut, sekaligus akan menaikkan harga-harga sembako bagi konsumennya di pasar pedesaan tersebut,” cetus Binsar Effendi yang juga Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966 dalam keterangannya persnya (21/4/2013).
Menurut Binsar Effendi yang Panglima Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK),
bila melihat latar belakang sejarah subsidi BBM, Indonesia telah menerapkan harga subsidi BBM untuk keperluan rumah tangga, transportasi, industri, dan kelistrikan itu sejak tahun 1970-an.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka secara langsung akan meningkatkan kebutuhan energi. Di sisi lain, tingginya kebutuhan energi tersebut tidak dapat diimbangi dengan peningkatan ketersediaan, sehingga mengakibatkan meningkatnya subsidi yang harus ditanggung oleh negara.
Apabila hal ini terus berlanjut, maka berpotensi untuk mengganggu keamanan APBN dan mengurangi porsi pembiayaan di sektor-sektor lainnya. “Kami tentu membenarkan argumentasi seperti ini. Tapi haruslah dicatat, alasan tidak dapat diimbangi dengan peningkatan ketersediaan merupakan tanggungjawab Pemerintah, bukan tanggungjawab rakyat.
Kenapa lifting minyak dibiarkan menurun, kenapa pula Blok Mahakam yang akan habis masa kontraknya pada 2017 itu lebih senang tetap dikelola oleh perusahaan asing ketimbang Pertamina? Kenapa?”, katanya geram.
Subsidi BBM dalam pandangan pihak GNM, adalah aliran dana dari Pemerintah ke Pertamina. Pendapatan minyak adalah aliran dana dari penjualan minyak mentah milik Pemerintah, yang diterimakan ke rekening Kementerian Keuangan. Sebagian besar kegiatan penjualan minyak mentah (crude oil) dan penyediaan BBM dilakukan oleh Pertamina sebagai satu-satunya National Oil Company (NOC) atau BUMN migas.
Kritik yang diajukan oleh masyarakat pada umumnya adalah, dimana letaknya pendapatan minyak dalam akuntansi subsidi BBM yang dilakukan Pemerintah? Mengapa tidak memasukkan pendapatan minyak sebagai bagian (sisi input) daripada mekanisme perhitungan subsidi BBM tersebut?
“Dengan memasukkan pendapatan minyak ke dalam perhitungan, maka industri minyak di Indonesia selalu menghasilkan surplus. Di sisi lain, masyarakat masih memiliki kesan bahwa Indonesia adalah negara penghasil minyak atau negara pengekspor migas. sehingga seharusnya kenaikan harga minyak dunia memberikan windfall profit atau keuntungan tambahan bagi Indonesia. Bukan sebaliknya, menjadi beban subsidi BBM yang dianggap haram” tutur Binsar Effendi.
Dari teori sumber daya alam, menurut pendapat GNM, memasukkan pendapatan minyak ke dalam model perhitungan “subsidi BBM” adalah hal logis dan fair, karena “produksi dari alam” merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi. Industri sumber daya alam seperti minyak bumi yang sifatnya dari alam, tidaklah tepat bila diperlakukan sama dengan industri pemrosesan atau manufaktur. Juga dalam menggunakan terminologi “subsidi” tersebut yang dalam amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak termaktub kalimatnya.
Itulah sebabnya, kata Binsar Effendi, bahwa kekayaan alam migas yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bukanlah harus direduksi dengan pemahaman “subsidi” yang mendistorsi amanat tersebut. Subsidi itu muncul hanya karena adanya kepentingan IMF agar harga BBM mengikuti mekanisme pasar, yang diawal tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Migas No. 22 Tahun 2001, justru dicabut karena bertentangan dengan UUD 1945.
Padahal dalam Putaran Uruguay, putusan WTO yang sarat nermadzhab neo-lib agar barang produksi yang menjadi hajat hidup rakyat suatu negara tidak dilarang untuk diatur oleh pemerintahannya. Padahal juga dalam situasi dimana pendapatan migas masih menjadi penerimaan negara, mempertahankan pos penerimaan migas di satu jalur dan “subsidi BBM” di jalur lain adalah yang lebih tepat dan masih relevan.
“Artinya apa? Jika harga BBM dinaikkan yang membuat terjadinya kemerosotan kemampuan daya beli rakyat, ini sama artinya dengan kekayaan migas yang dikuasai oleh negara itu tidak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tegasnya, kebijakan kenaikan BBM oleh Pemerintah yang akan membuat kesengsaraan rakyat, sudah jelas melenceng dari konstitusi negara. Dan pengendalian BBM yang jelas beraroma diskriminatif itu juga melanggar amanat Pasal Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, ungkap Binsar Effendi.
Bank Indonesia (BI) sendiri, sela Kooreks GarpU Muslim Arbi, telah memprediksi jika Pemerintah menaikan harga BBM menjadi Rp. 7.000,- per liternya untuk kendaraan pribadi, inflasi dapat bertambah sebesar 0,7%. Dari inflasi BBM sebesar 0,7% itu akan menyebabkan prediksi inflasi year on year naik menjadi 6,1%.
Sementara Menteri Keuangan, Agus Martowardojo waktu itu mengatakan, Pemerintah harus mewaspadai sisi inflasi yang cukup tinggi karena kenaikan harga BBM bisa meningkatkan target inflasi dari 4,9% menjadi 5,9%. Padahal, berdasarkan survei pemantauan harga minggu kedua bulan April ini, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 0,1%. Melihat harga penyediaan seperti beras dan bawang yang sudah mengalami deflasi, inflasi akhir bulan ini diperkirakan 0,06%.
“Kita menginginkan inflasi pangan juga terjaga, bahkan menurun. Kita juga mengingatkan Pemerintah agar tidak menyampaikan informasi yang berlebihan soal BBM, sehingga menimbulkan gejolak harga. Informasi yang berlebihan bisa memicu naiknya harga produk hortikultura”, ujar Muslim Arbi yang juga Kepala Staf Investigasi dan Advokasi (Kastaf Invokasi) GALAK, serta aktivis yang sekian lama bergiat di bidang pangan, industri dan perdagangan.
GNM mengutip pengakuan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, bahwa sampai saat ini belanja pegawai untuk para PNS terlalu besar. Padahal, masih banyak pos anggaran yang bisa dihemat berdasarkan skala prioritas dan penggunaan teknologi. Menurut Menpan RB, anggaran belanja pegawai sangat besar yang seharusnya kalau ada anggaran proyek naik, maka persentase fee-nya turun. Tapi sebaliknya, ini anggaran belanja naik, naik juga belanja pegawainya.
Lagi pula kerja PNS pun dari kacamata publik, sebenarnya banyak yang tidak efektif dan terkesan memboroskan keuangan negara. Bahkan kejahatan korupsi terhadap keuangan negara yang diperbuat aparatur negara semakin marak dan gila-gilaan, termasuk dugaan korupsi yang ada kaitannya dengan kegiatan migas.
“Untuk itu, jika Pemerintah mau dan mampu bersikap bijaksana terhadap rakyatnya, yang telah menggaji mereka melalui pajak, yang dalam pemilu memilih secara langsung presidennya, dan yang memegang kedaulatan penuh di negeri ini. Sebenarnya banyak alternatif yang bisa ditempuh Pemerintah, tanpa harus menaikkan BBM. Karenanya, kami, GNM, sampai pada satu kalimat pamungkas, yakni menolak atas kebijakan Pemerintah soal pengendalian BBM Bersubsidi dengan dasar dan alasan apapun” pungkas Pimpinan GNM Binsar Effendi yang didampingi Muslim Arbi.
Terima kasih.
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D14177099.5fe9163d38fe8aea70746bbb4e19c084%3B)

%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D50560210.5fe9163d38fe8aea70746bbb4e19c084%3B)