
PENYELENGGARAAN pemerintahan saat ini terkesan telah melenceng dari cita-cita pendiri bangsa. Sebab, Pancasila yang disepakati sebagai
pondasi bangsa justru hanya tinggal ucapan saja. Kalau melihat kebijakan negara di tangan pemerintahan sekarang ini, kecenderungan bukan
lagi jadi negara yang diinginkan pendiri bangsa, tidak bisa dinaifkan.
Ketua Umum Lintasan ’66 (Lembaga Informasi & Komunikasi Pembangunan Solidaritas Angkatan 1966), Teddy Syamsuri, menyatakan hal ini
dalam rilisnya kepada pers (1/6/2013) dalam memperingati hari lahirnya Pancasila ke-68 tahun.
Baca juga: Demi kemakmuran Indonesia, Pancasila harus kembali jadi ruh bangsa dan SBY terima award? La Ode: Biarkan SBY nikmati akhir periode kepemimpinan
Teddy Syamsuri yang juga Kepala Staf Komunikasi dan Informasi (Kastaf Kominfo) Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK), mengritik semua
kebijakan pemerintah dan kepala negara yang tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila, karena sudah menjadi panggilan atas kewajiban dan
tanggungjawab moralnya selaku aktivis Angkatan 1966.
“Jadi bukan pemerintahnya, tapi kebijakannya yang tidak lagi sesuai dengan cita-cita bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) silakan saja memerintah hingga berakhir masa jabatannya di tahun 2014. Tapi, kami dari Lintasan ‘66 yang tetap berpegang teguh untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, mendesak Presiden SBY untuk menghentikan kebijakan yang tidak didasari Pancasila. Kembalilah pada Pancasila, Pak SBY”, tegas Teddy Syamsuri.
Pancasila memang harus kembali, inilah yang sekarang Lintasan ’66 perjuangkan. Bertepatan adanya kesadaran baru bahwa ternyata kita selama
ini telah melupakan, melalaikan, bahkan boleh jadi mematikan aset bangsa tak ternilai ini.
Pancasila yang demikian populer pada masa Orde Baru, tiba-tiba ketika memasuki reformasi dijadikan tudingan, dianggap biang keladi dari berbagai permasalahan bangsa dan negara yang dihadapi. Nyatanya, tatkala reformasi tak memenuhi dahaga cita-cita bangsa, kita jadi teringat Pancasila. Oleh sebab itu, kita harus kembali ke Pancasila.
Menjelang ulang tahun dicetuskannya Pancasila oleh Bung Karno, 1 Juni, banyak kalangan kembali mengingatkan tentang pentingnya penguatan
Pancasila sebagai ideologi negara. Pembahasan terakhir tentang Pancasila secara kenegaraan pernah berlangsung di Jakarta, Selasa (24/05/13),
melalui pertemuan konsultasi Presiden SBY dengan pimpinan lembaga negara. Para petinggi negara itu secara serius membahas upaya mengaktualkan kembali Pancasila.
Pertemuan selama tiga jam di ruang sidang pleno MK tersebut menghasilkan kesepakatan untuk sama-sama bertanggung jawab menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara sesuai dengan peran, posisi, dan kewenangan masing-masing.
Ada suatu kesadaran kolektif bahwa Pancasila sudah banyak terabaikan. Bukan saja kata Pancasila dijadikan asing, tapi nilai-nilainya pun seolah sirna dalam kehidupan kita. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seolah tidak berpijak ke bumi Pancasila, melainkan mengawang tak jelas ke mana arahnya. Oleh karena itulah, mereka berkomitmen tentang bagaimana upaya memberi penguatan Pancasila sebagai ideologi negara. Tentu kami sambut dengan dukungan penuh.
Selain menguatkan, ditegaskan pula Pancasila harus menjadi ideologi dan inspirasi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, empat konsensus bangsa perlu diimplementasikan, karena sudah final. Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika yang sudah final ini harus diupayakan untuk diwujudkan lewat rencana aksi nasional oleh suatu lembaga untuk melakukan sosialisasi dan penguatan nilai-nilai Pancasila secara formal melalui pendidikan Pancasila dan konstitusi. Tidak kemudian hanya untuk dijadikan jargon dan retorika semata.
Harus jujur diakui, semasa Presiden Soeharto, komitmennya terhadap Pancasila dan UUD 1945 dilaksanakan. Kala itu, sering diungkapkan bahwa
landasan ideologis kita adalah Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Pak Harto juga sering mengungkapkan, kita harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
“Pancasila juga selalu diingatkan harus menjadi sumber dari segala sumber hukum, ” ungkap Ketua Umum Lintasan ’66 mengingatkan fakta sepanjang era Soeharto terkait Pancasila.
Menjadikan Pancasila sebagai satu asas dalam kehidupan bermasyakat, berbangsa dan bernegara, secara formal sudah diterapkan semasa Orde Baru.
Sayangnya, tatkala Orde Baru mengalami hantaman gelombang reformasi, salah satu yang ikut dipojokkan termasuk Pancasila ini. Pak Harto
lengser, Parpol dan Ormas ramai-ramai membuang satu asas Pancasila dan kembali mengikuti aliran masing-masing. Bahkan lebih parah, lembaga BP-7 (Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) ikut dibubarkan karena dianggap sebagai tempat indoktrinisasi politik Orde Baru.
Padahal, Paus Paulus saat berkunjung ke Jakarta sebelum lawatannya ke Timor Timur dan Presiden Obama saat memberi kuliah umum di UI Depok,
kedua pemimpin ini merasa nilai Pancasila universal.
Apa pun itu, tentu kita tidak perlu membalik arah jarum jam sejarah. Kita kini patut mensyukuri saja bahwa petinggi negeri ini sudah punya
kesadaran menghidupkan lagi Pancasila. Mudah-mudahan kesadaran itu disambut hangat masyarakat luas dan segenap komponen bangsa. Mungkin, hal yang baik pada masa Orde Baru dapat dilanjutkan, sedangkan yang dulu dikecam, jangan lagi terulang. Kita, misalnya, jangan pula ingin memonopoli pemahaman, apalagi terkait sejarah, seperti soal kelahiran Pancasila.
Tanggal 1 Juni 1945 boleh saja dianggap hari kelahirannya, namun bila ada yang merasa pas dengan 18 Agustus 1945, sesuai yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, juga boleh saja.
“Hal terpenting adalah nilai-nilai Pancasila dapat kita hayati, kita amalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kembalinya kita pada nilai-nilai Pancasila, salah satunya setiap komponen bangsa berkewajiban memikirkan untuk dilaksanakannya butir keempat Pancasila sesuai dengan maknanya. Bukan dengan mengambil demokrasi yang liberal yang menyingkirkan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, yang gampang mengambil cara voting yang justru tidak mencerminkan demokrasi kita pada hakikinya”, demkian Teddy Samsuri. @rls
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D17100627.220328f9908cbdb712a82e41c86e5ae4%3B)

%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D65705809.220328f9908cbdb712a82e41c86e5ae4%3B)