
Hakim Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 4,6 tahun penjara untuk Angelina Sondakh. Dalam amar putusannya, ditegaskan bahwa vonis dijatuhkan BUKAN UNTUK KASUS WISMA ATLET.
Dalam pembacaan amar putusan secara bergatian oleh lima Hakim Tipikor, Angelina Sondakh diputuskan bersalah karena telah memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi sesui dengan Pasal 11 UU Tipikor nomor 31 tahun 1999, yang isinya: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dalam pertimbangan amar putusan, hakim menjelaskan bahwa Angelina Sondakh memenuhi unsur karena, beberapa diantaranya, melakukan pertemuan dengan Mindo Rosalina atau Rosa dan Nazaruddin dengan pejabat di Kemendiknas di FX Plasa.
Kemudian, dalam pertemuan itu dilakukan pembahasan-pembahasan mengenai proyek Perguruan Tinggi, yang mana dari 21 proyek yang dibahas di DPR, 4 proyek diantaranya dimenangkan oleh Grup Permai, yang diketahui dimiliki oleh M Nazaruddin.
Dalam persidangan Anggie, jelas disebut bahwa Anggie semula dikenalkan oleh Nazaruddin, teman satu partainya dengan Mindo Rosalina yang disebut sebagai rekan pengusaha Nazaruddin. Belakangan, baru diketahui bahwa Rosa adalah anak buah Nazaruddin, yang memang ditugaskan untuk “berpura-pura” menjadi pengusaha yang mencari proyek.
Dalam amar putusannya, hakim juga menyebutkan bahwa ada aliran dana sebesar Rp 2,5 Miliar dan 1,2 juta US dolar uang dari Grup Permai mengalir untuk menggiring proyek di Kemendiknas. Dan, hakim menyatakan bahwa memang tidak ada aliran dana langsung yang diterima oleh Angelina Sondakh.
Dari rangkaian sidang dan amar putusan hakim, ditegaskan bahwa aliran dana itu diantar oleh OB dan staf Grup Permai ke ruangan I Wayan Koster, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan. Juga, diserahkan kepada seseorang bernama Jefri, yang disebut sebagai kurirnya Angelina Sondakh.
Bahwa, sampai akhir persidangan, belum bisa dipastikan apakah benar Jefri yang dihadirkan oleh JPU, yaitu wartawan LKB-Antara, adalah benar Jefri yang dimaksud di dalam dakwaan JPU.
Secara sederhana, terlihat jelas bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim, sudah lebih dari berat untuk rangkaian fakta persidangan Angelina Sondakh. Anggie mendapat hukuman maksimal.
* * *
Yang justru sulit diterima adalah proses di luar persidangan Angelina Sondakh sendiri. Sejak awal, Anggie telah dihakimi secara luar biasa dzalim dan penuh kebencian.
Opini menghancurkan Anggie bukan saja berlebih, tapi sudah tidak lagi didasarkan pada fakta dan logika hukum. Banyak pihak yang melampui batas nalar memberikan vonis pada Angelina.
Tentu, yang tidak bisa dilupakan adalah ketika Angelina Sondakh ditetapkan sebagai tersangka. Masih jelas rekaman di media, bahwa penetapan status tersangka dilakukan langsung oleh Ketua KPK yang masih baru saat itu: Abraham Samad, seorang diri.
Dan, sangat jelas dalam rekaman media, bahwa Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, menetapkan status tersangka pada Angelina Sondakh atas dugaan Tipikor atas KASUS WISMA ATLET. Sekali lagi, atas KASUS WISMA ATLET!
Kini, Angelina Sondakh telah menjadi terpidana dengan vonis hakim Tipikor. Dan, BUKAN UNTUK KASUS WISMA ATLET. Tapi, memenuhi unsur telah menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya untuk mendapatkan hadiah/janji atas proyek-proyek pembangunan Universitas yang dikerjakan oleh Grup Permai.
Di luar pengadilan, vonis-vonis berupa hinaan, celaan, cacian-makian, bahwa yang paling tidak manusiawi sekalipun terus ditujukan pada Angelina Sondakh. Bahkan, televisi Metro TV, sebelum vonis dibacakan secara terus menerus mengkait-kaitkan Angelina Sondakh untuk kasus-kasus yang masih belum diproses di pengadilan secara berlebihan.
Sangat sulit memahami, sebuah media membuat vonis yang lebih mengerikan secara sosial kepada seorang terpidana, yang telah divonis pengadilan, yang berbeda dari penetapan kasus di tingkat penyidikan sampai vonis.
Terlihat jelas bahwa proses penegakan hukum di negeri ini mulai mengindahkan rasa keadilan. Hak-hak seseorang bisa dilanggar, untuk kepentingan pemuasan syahwat publik yang ingin dilampiaskan pada seseorang.
Ini bisa menjadi preseden yang tidak baik. Menegakkan hukum, tidak bisa dilakukan dengan pelanggaran hukum.@
Oleh Ki Marsono, Pengamat Budaya di Jakarta
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D44639205.bedf59c06f7ff2e41071cfec6f13ecae%3B)

%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D22107486.bedf59c06f7ff2e41071cfec6f13ecae%3B)