Clik here to view.

LENSAINDONESIA.COM: Ada pertanyaan pasca Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Bali, kemarin. Apakah PD masih menjadi kekuatan demoratis?
Pertanyaan bukanlah sekadar sindirian, kekenesan, dan/atau kenyinyiran belaka. Ini adalah sebuah bentuk keprihatinan terhadap perkembangan politik Indonesia yang semakin hari semakin menjauhi semangat reformasi dan kiprah demokratisasi.
Baca juga: Ketika anak muda tak berkutik di hadapan SBY dan Diam-diam kontak Anas, Tri Dianto buat KLB tandingan?
“KLB PD adalah sebuah even yang sangat penting baik bagi parpol yang bersangkutan maupun bagi bangsa Indonesia. Sebab KLB tersebut merupakan sebuah ajang bagi upaya konsolidasi dan upaya pembersihan, penataan dan pemulihan PD setelah berhentinya Anas Urbaningrum (AU) sebagai Ketum DPP karena menjadi tersangka kasus Hambalang,” kata analis politik President University, M. AS Hikam kepada LICOM, Minggu (31/3/2013).
Masih kata Hikam, KLB merupakan sebuah wahana bagi PD untuk bangkit dari keterpurukan elektabilitasnya menyongsong Pemilu 2014, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden. KLB juga menjadi sebuah bukti bagi rakyat Indonesia bahwa konflik partai politik bisa diselesaikan secara damai, dan tetap menjunjung prinsip-prinsip demokrasi.
“KLB merupakan ajang pembuktian bahwa Pak SBY, selaku penggagas, pendiri, dan sesepuh serta simbol pemersatu PD tetap konsisten dengan nilai-nilai dan praksis demokrasi yang telah mengantarkannya menjadi pemimpin dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,” imbuhnya.
“Pada butir ke 1 dan ke 2, sebagai tujuan konsolidasi internal PD, saya kira sedikit yang menyangkal bahwa KLB di Bali kemarin (30/3/13) sudah berhasil dengan baik. Tengaranya antara lain adalah keberhasilan elite PD, dari pusat sampai di lapisan bawah, berhasil melakukan konsolidasi yang dipuncaki dengan terpilihnya Ketum baru, yakni Pak SBY,” sambungnya.
Masih kata Hikam, ini juga fakta bahwa tidak ada sedikitpun insiden yang menunjukkan adanya perpecahan dari seluruh peserta KLB mengenai keputusan-keputusan yang diambil, menunjukkan keberhasilan Majelis Tinggi Partai (MTP) PD dalam mencari solusi bagi kemelut internal PD yang sering dibayangkan seakan-akan akan bisa menghancurkan partai berlambang bintang Mercy tersebut.
“Last but not the least, KLB juga mematahkan klaim kubu Anas Urbaningrum (AU) bahwa pihaknya masih punya kekuatan. KLB adalah ibarat pisau guilliotin terakhir yang dijatuhkan ke leher kubu AU dan mengakhiri eksistensinya,” tegasnya.
Namun demikian, Hikam masih belum melihat bahwa KLB PD telah mencapai tujuan ekstrinsik dan yang akan menjadi nilai tambah bagi kiprah demokrasi di negeri ini. Kalaupun pada target ketiganya tampaknya telah tercapai, tetapi hal itu masih mengundang pertanyaan yang harus dijawab oleh para elit dan pendukung PD. Yaitu apakah hasil KLB tersebut telah memenuhi prinsip dan nilai demokrasi? Mungkin jika hal itu hanya dilihat dari sisi formal dan pemahaman internal (self-understanding) PD.
“Tetapi, jika ditelisik lebih jauh, belum tentu jika kemudian ternyata di dalam keputusan mengangkat Pak SBY sebagai Ketum DPP, ternyata masih tersimpan pertanyaan tentang bagaimana dengan posisi-posisi lain, seperti Ketua Dewan Pembina (Wanbin), dan Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP) yang selama ini dipegang juga oleh beliau?,” sambungnya.
Kebijakan Ketum DPP untuk membentuk Ketua Harian DPP, tentu harus dipuji dan, bahkan, diacungi jempol. Karena hal itu adalah sebuah terobosan cerdas utk menepis tudingan seakan-akan seorang Presiden tidak akan bisa bekerja jika merangkap sebagai ketua partai.
Selain secara aturan main hal itu tidak merupakan pelanggaran, toh dalam praktik di Indonesia perangkapan jabatan tersebut terjadi sebelumnya, saat Presiden Megawati Soekarnoputri (MS) merangkap sebagai Ketum DPP PDIP, dan alm Presiden KH Abdurrahman Wahid (GD) merangkap menjadi Ketua Dewan Syuro DPP PKB. Alm Presiden Soeharto pun pernah sambil merangkap Ka Wanbin DPP Golkar.
“Masalahnya, saya kira, bukan soal kesalahan secara aturan, tetapi lebih merupakan eforia media massa dan pengamat yang cenderung membuat sensasi soal ini,” tambahnya.
Dalam hal membentuk Ketua Harian Wanbin dan MTP, masalahnya menjadi lain. Jika dalam KLB memang sudah terjadi perubahan AD-ART PD, khususnya dalam struktur kedua lembaga tersebut, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka akan timbul pertanyan-pertanyaan yang berimplikasi substansi demokrasi.
“Denny JA (DJA), misalnya, mengatakan bahwa “ada banyak hal unik yang akan terjadi” bila Pak SBY menduduki kursi Ketum DPP (tanpa perubahan AD/ART). Keunikan tersebyt antara lain: SBY merangkap menjadi Ketum, Ka-Dewan Kehormatan (Ka Wanhat), Ka-Wanbin, dan Ka-MTP. Artinya, kata Denny, satu orang memborong semua jabatan penting sebuah partai pemenang pemilu. Padahal menurut AD/ART, dinyatakan bahwa Ketua Dewan Pembina adalah Ketua MTP, sedangkan Ketum DPP adalah “Wakil Ketua MTP.” Jadi ada hal yang “pabalieut” di sini (sekali lagi jika AD/ART tidak diubah oleh KLB),” sambungnya.
Masih mengutip Denni JA, karena baik ketua Dewan Pembina dan ketua umum dijabat SBY, maka SBY menjadi ketua Majelis Tinggi sekaligus wakil ketua Majelis Tinggi. SBY menjadi wakilnya SBY. Atau SBY menjadi wakil dirinya sendiri.
Elite PD di semua tataran harus menjelaskan sejujurnya kepada seluruh rakyat Indonesia tentang masalah ini. Perlu dijelaskan kepada publik dan rakyat Indonesia bahwa dalam KLB kemarin telah dilakukan perubahan AD/ART yg diperlukan untuk mengakomodasi semua perubahan, termasuk dalam ihwal Wanbin dan MTP, serta adanya Ketua Harian di masing-masing lembaga tersebut.
“Dengan demikian, Pak SBY tidak bisa dikritik seakan-akan mengabaikan prosedur dan substansi sistem demokrasi yang adalah “rule of law” bukan “rule by law”. Jika tidak ada kejelasan, maka tujuan ekstrinsik no empat, yaitu bahwa Pak SBY konsisten dengan nilai dan praksis demokrasi sebagai pemimpin negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, pun akan dipertanyakan keberhasilannya,” katanya lagi.
Malah, imbuh bekas Menristek era Gus Dur ini, bisa jadi akan menjadi sebuah bukti bahwa pada akhirnya PD menjadi pelopor pemerosotan reformasi dan demokrasi dan menjadi partai pertama dalam era paska Reformasi yang mengintroduksi kembalinya otoriterisme dan sentralisme kekuasaan. @ari
Image may be NSFW.Clik here to view.
Clik here to view.
Clik here to view.
Clik here to view.
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D87917415.bee4fe4b1e68d0b3f1d57c1d173b9333%3B)
Clik here to view.

Clik here to view.
Clik here to view.
Clik here to view.
Clik here to view.
%7Cutmcsr%3D(direct)%7Cutmcmd%3D(none)%3B%2B__utmv%3D50081803.bee4fe4b1e68d0b3f1d57c1d173b9333%3B)